Minggu, 08 Juli 2012

Oseanograf


1.    Definisi Estuari
Estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Contoh dari estuaria adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-surut.

Klasifikasi Estuari
Estuari didefinisikan sebagai perairan semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut, tempat dimana air tawar dari sungai dan air asin dari laut bertemu. Jadi estuary adalah bagian dari system sungai, biasanya sungai yang lebar, dipengaruhi oleh aksi pasang surut dan sifat dinamika dan fisik laut lainnya seperti arus, gelombang, salinitas, dan lain-lain. Di estuary pasut sangat dominan pengaruhnya dibandingkan dengan arus yang ditimbulkan oleh angina tau gelombang. Sehingga perilaku estuary sangat tergantung pada aksi pasut dan aliran sungai yang mana keduanya merupakan perubah yang bebas. Secara umum estuary dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu :
1.estuari positif adalah suatu estuary dimana air tawar yang masuk dari sungai dan hujan lebih banyak dibandingkan dengan penguapan, sehingga salinitas permukaan lebih rendah dari pada laut terbuka. Kebanyakan esstuari yang ada adalah estuary positif.
2.estuari negative yaitu penguapan lebih besar daripada aliran sungai dan hujan, karena itu akan terjadi keadaan “asin berlebih” atau hypersaline.
Estuaria dapat dike­lompokkan atas empat tipe, berdasarkan karak­teristik geomorfolo­gi­nya:
1.Estuaria dataran pe­sisir; paling umum dijumpai, dimana pem­bentukannya terjadi akibat penaikan per­mukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landai.
2. Laguna (Gobah) atau teluk semi tertutup; terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai, sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan perairan laut.
3. Fjords; merupakan estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktivitas glasier yang mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut.
4. Estuaria tektonik; terbentuk akibat aktivitas tektoknik (gempa bumi atau letusan gunung berapi) yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada saat pasang.
Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air terdapat tiga tipe estuaria:
1. Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam, dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin. Estuaria tipe ini ditemukan di daerah-daerah dimana aliran air tawar dari sungai besar lebih dominan dari pada intrusi air asin dari laut yang dipengaruhi oleh pasang-surut.
2. Estuaria berstratifikasi sebagian/parsial merupakan tipe yang paling umum dijumpai. Pada estuaria ini, aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Pencampuran air dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh aksi pasang-surut.
3. Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal. Estuaria tipe ini dijumpai di lokasi-lokasi dimana arus pasang-surut sangat dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur sempurna dan tidak terdapat stratifikasi.
Karakteristik fisik
Perpaduan antara beberapa sifat fisik estuaria mempunyai peranan yang penting terhadap kehidupan biota estuaria. Beberapa sifat fisik yang penting adalah sebagai berikut:
(1) Salinitas. Estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, terutama bergantung pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang-surut. Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tapi mendukung kehidupan biota yang padat dan juga menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang rendah.
(2) Substrat. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal dari sedimen yang dibawa melalui air tawar (sungai) dan air laut. Sebagian besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, sehingga substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan organik ini menjadi cadangan makanan yang penting bagi organisme estuaria.
(3) Sirkulasi air. Selang waktu mengalirnya air dari sungai ke dalam estuaria dan masuknya air laut melalui arus pasang-surut menciptakan suatu gerakan dan transport air yang bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya plankton yang hidup tersuspensi dalam air.
(4) Pasang-surut. Arus pasang-surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan plankton. Di samping itu arus ini juga berperan untuk mengencerkan dan menggelontorkan limbah yang sampai di estuaria.
(5) Penyimpanan zat hara. Peranan estuaria sebagai penyimpan zat hara sangat besar. Pohon mangrove dan lamun serta ganggang lainnya dapat mengkonversi zat hara dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan kemudian oleh organisme hewani.
Komposisi biota dan produktivitas hayati
Di estuaria terdapat tiga komponen fauna, yaitu fauna laut, air tawar dan payau. Komponen fauna yang terbesar didominasi oleh fauna laut, yaitu hewan stenohalin yang terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan salinitas (umumnya > 30 0/­00 ) dan hewan eurihalin yang mempunyai kemampuan mentolerir berbagai penurunan salinitas di bawah 30 0/00 . Komponen air payau terdiri dari spesies organisme yang hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5-30 0/00. Spesies-spesies ini tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun tawar. Komponen air tawar biasanya terdiri dari hewan yang tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5 0/00 dan hanya terbatas pada bagian hulu estuaria.
Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis yang mampu bertahan hidup di estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin akan flora. Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi.
Rendahnya produktivitas primer di kolom air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus. Suatu penumpukan bahan makanan yang dimanfaatkan oleh organisme estuaria merupakan produksi bersih dari detritus ini.
Fauna di estuaria, seperti ikan, kepiting, kerang dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai makanan yang kompleks.
Secara fisik dan biologis, estuaria merupakan ekosistem produktif yang setaraf dengan hutan hujan tropik dan terumbu karang, karena:
1. Estuaria berperan sebagai jebak zat hara yang cepat didaurulang.
2. Beragamnya komposisi tumbuhan di estuaria baik tumbuhan makro (makrofiton) maupun tumbuhan mikro (mikrofiton), sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun.
3. Adanya fluktuasi permukaan air terutama akibat aksi pasang-surut, sehingga antara lain memungkinkan pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang diperlukan berbagai organisme estuaria.
Fungsi ekologis estuaria
Secara umum estuaria mem­pu­nyai peran ekologis penting sebagai berikut:
• Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang-surut (tidal circulation).
• Penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan (ikan, udang…) yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground).
• Sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang.
Pemanfaatan estuaria
Secara umum estuaria dimanfaatkan oleh manusia sebagai berikut :
• Sebagai tempat pemukiman.
• Sebagai tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan.
• Sebagai jalur transportasi.
• Sebagai pelabuhan dan kawasan industri.

2.    Definisi El Nino dan Dipole Mode
·         El Nino adalah fenomena alam dan bukan badai, secara ilmiah diartikan dengan meningkatnya suhu muka laut di sekitar Pasifik Tengah dan Timur sepanjang ekuator dari nilai rata-ratanya dan secara fisik El Nino tidak dapat dilihat.
Musim kemarau yang terik kini melanda berbagai daerah di Indonesia. Para petani di berbagai daerah pun menjerit karena sawahnya mulai kekurangan air.
Di Jawa Barat misalnya, Dinas Tanaman Pangan Jabar menyatakan hingga tanggal 10 Juni 2003 sudah 25.147 ha sawah yang terkena kekeringan. Sawah-sawah tersebut terdapat di Kabupaten Indramayu, Karawang, Cirebon, Kabupaten Bandung, Sumedang, Tasikmalaya dan Garut. Dari jumlah itu, 6.927 ha di antaranya tergolong dalam kondisi berat, 13.548 ha ringan dan 345 ha lainnya sudah dinyatakan puso. Sementara 76.498 ha lainnya mulai terancam kekeringan.
Daerah terluas yang mengalami kekeringan terjadi di daerah lumbung beras, Kabupaten Indramayu, mencapai 10.030 ha. Meskipun belum ada yang dinyatakan puso, namun ancaman kekeringan meluas karena masih ada 22.345 ha sawah lainnya yang bisa menyusul mengalami kekeringan.
Masyarakat Indonesia seringkali menganalogikan datangnya musim kemarau yang terik dengan kehadiran fenomena alam El Nino. Tak heran jika fenomena alam yang satu ini amat ditakuti para petani karena kedatangan El Nino (yang artinya anak laki-laki) membawa bencana kekeringan terik yang berkepanjangan, yang akan mengubur harapan petani untuk memetik hasil panennya.
Namun musim kemarau tahun 2003 ternyata bukan karena El Nino yang ditakuti para petani itu. Menurut Kepala Bidang Pemodelan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung, Dr. Mezak A. Ratag, APU, musim kemarau di Indonesia saat ini bukan karena fenomena El Nino.

·         Dipole mode disingkat DM merupakan fenomena yang mirip dengan ENSO tetapi terjadi di Samudera Hindia. Peristiwa dipole mode ditandai adanya perbedaan anomali suhu permukaan laut (SPL) antara Samudera Hindia tropis bagian barat (50 oE – 70 oE, 10 oS – 10 oN) dengan Samudera Hindia tropis bagian timur (90 oE – 110 oE, 10 oS – ekuator). Anomali SPL ini memiliki kondisi yang lebih dingin dari normal dan muncul dipantai barat Sumatera (Samudera Hindia bagian timur), sementara di Samudera Hindia bagian barat terjadi pemanasan dari biasanya.
Indian Ocean Dipole Mode sebenarnya bukan fenomena alam baru. Menurut data historis, gejala alam ini sudah ada sejak tahun 1800.

Klasifikasi Dipole Mode
                     
Jenis DM dibagi berdasarkan SPL antara Samudera Hindia tropis bagian barat (50 oE – 70 oE, 10 oS – 10 oN,kotak A) dengan Samudera Hindia tropis bagian timur (90 oE – 110 oE, 10 oS – ekuator,kotak B) pada Gambar 1.
  • Dipole mode dibagi menjadi menjadi DM(+) dan DM (-).
DM(+):anomali SPL Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya akibatnya terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat sedangkan di Benua Maritim Indonesia (BMI) mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan.
DM(-):Fenomena yang berlawanan dengan kondisi DM(+) seperti yang dikemukakan Ashok et al., (2001a).
  • DM terjadi secara independen dengan ENSO dan merupakan fenomena kopel atmosfer-laut yang unik di Samudera Hindia tropis (Saji et.al, 1999; Ashok et.al, 2001a).
  • Variasi dampak dipole mode interaksinya dengan monsun sangat beragam dan merupakan fungsi waktu dan tempat.
  • Untuk mengetahui kekuatan Dipole Mode maka dapat dihitung dengan indeks yang disebut dengan Indeks Dipole Mode yang digunakan oleh Saji (1999).Indeks ini berupa dipole anomali SPL yang didefinisikan sebagai perbedaan anomali SPL Samudera Hindia bagian barat (50o – 70o BT, 10o LS – 10o LU) dan Samudera Hindia bagian timur (90o – 110o BT, 10o LS – ekuator),seperti Gambar 1.
  • Tahapan Siklus DM:
  1. Muncul anomali SPL negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei – Juni, bersamaan terjadi anomali angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera.
  2. Anomali terus menguat (Juli – Agustus) dan meluas sampai ke ekuator di sepanjang pantai selatan Jawa hingga pantai barat Sumatera. Kondisi diatas dibarengi munculnya anomali positif SPL di Samudera Hindia bagian barat. Adanya dua kutub di Samudera Hindia ekuator ini, semakin memperkuat anomali angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera.
  3. Siklus mencapai puncaknya pada bulan Oktober, dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November – Desember.
                            
Karena memiliki sifat fasa yang sistematik secara musiman, maka analisa komposit DM dapat dilakukan (Saji et.al. 1999) dengan tujuan agar dapat mendeskripsikan evolusi DM terkopel kuat (warna biru) dengan variabilitas angin ekuatorial (warna merah) di Samudera Hindia ekuator bagian timur (70o – 90oBT, 5oLS – 5oLU) seperti diperlihatkan pada Gambar 2.
· Kejadian DM sejak 1958 yang diidentifikasi berdasarkan deret waktu DM (warna biru), selain itu juga diberikan deret waktu anomali SPL Niño 3 (150o – 90o BB, 5o LS – 10o LU) untuk memperlihatkan kaitan antara DM dengan El Niño (warna hitam). Sedangkan garis warna merah merupakan angin ekuatorial rata-rata di atas Samudera Hindia bagian timur. (Gambar 3)
· Pada saat terjadi DM, curah hujan di Afrika berada di atas normal sedangkan di Indonesia terjadi penurunan dari kondisi normalnya (Saji et.al., 1999; Ashok et al., 2001).
· Saat DM terjadi penurunan curah hujan di atas daerah konvergensi tropis samudera atau DKTS dan peningkatan curah hujan di Samudera Hindia tropis bagian barat.
· Saat DM terjadi, SPL di lepas pantai Sumatera yang mulai mendingin akan menyebabkan konveksi di DKTS menjadi melemah sehingga terjadi perubahan tekanan udara permukaan yang membuat angin pasat tenggara meluas dan konvergen ke arah downstream. Perubahan ini mempertajam konvergensi medan angin skala besar dan suplai uap air ke arah perluasan downstream di ujung daerah angin pasat, sehingga memperbesar presipitasi ke arah barat laut dari posisi normal DKTS. Perluasan angin pasat yang tidak normal ini juga menghentikan suplai panas normal ke lepas pantai Sumatera. Perluasan angin pasat yang tidak normal dengan komponen timuran sepanjang ekuator dengan cara mencegah intrusi arus ekuator, memungkinkan proses pendinginan mendominasi Indonesia (Saji et.al, 1999).
· DM merupakan fenomena sistem kopel atmosfer-laut yang memiliki mekanisme fisis yang mirip dengan ENSO, akan tetapi secara statistik tidak bergantung pada ENSO (Saji et al., 1999; Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001).
· Ketidakbergatungan DM terhadap ENSO salah satunya ditunjukkan oleh adanya kejadian DM yang independen terhadap ENSO seperti tahun 1961 dan 1967 (Saji et.al, 1999).
· Godfrey et al., (2002), korelasi DM-ENSO tergantung pada evolusi kejadiannya yang ditunjukkan dari musim ke musim dimana diperoleh korelasi yang kuat terjadi pada bulan September-Oktober.
· Skema pola ENSO Indo-Pasifik (Gambar 4) terdiri dari :
1) Anomali SPL ENSO Pasifik
2) Dipole anomali SPL timur-barat Samudera Hindia ekuatorial
3) Dipole anomali osilasi utara-selatan Samudera Hindia
4) Dipole anomali SPL di Pantai Amerika utara
5) Dipole anomali SPL di pantai Benua Asia (Pasifik barat daya).
· Kejadian El Niño tahun 1997-1998 yang cenderung menimbulkan kekeringan di India tetapi dikurangi pengaruhnya oleh DM(+) yang terjadi bersamaan dengan El Niño (Ashok et al., 2001a).Fenomena ini menunjukan DM tidak hanya berpengaruh pada sirkulasi zonal (timur-barat) tetapi juga pada sirkulasi meridional (utara-selatan).
Sedangkan pola osilasi indeks DM memiliki puncak pada 18,36,48 bulan,seperti yang ditunjukan Gambar 5.
                           
Dengan menggunakan FFT (salah satunya ada di matlab) bisa diketahui periode curah hujan suatu stasiun, dan ketika diketahui periodenya ( misal 18 atau 36 bulanan) maka kemungkinan besar curah hujan distasiun tersebut dipengaruhi oleh DM mengingat DM memiliki perioda 18,36 dan 48 bulan. Jika terdapat pengaruh lainnya maka dilakukan proses FFT yang beberapa kali sehingga bisa menyaring siklus yang di inginkan dan membuang siklus yang tidak diperlukan.





3.    Definisi Sedimen Laut
Batuan Sedimen adalah salah satu dari tiga kelompok utama batuan (bersama dengan batuan beku dan batuan metamorfosis) yang terbentuk melalui tiga cara utama: pelapukan batuan lain (clastic); pengendapan (deposition) karena aktivitas biogenik; dan pengendapan (precipitation) dari larutan.
Jenis batuan umum seperti batu kapur, batu pasir, dan lempung, termasuk dalam batuan endapan. Batuan endapan meliputi 75% dari permukaan bumi. Sebelum mengetahui bagaimana sedimen terangkut dan terendapkan dalam suatu cekungan mungkin ada baiknya kita dapat memahami prinsip apa saja yang bisa kita temukan dalam batuan sedimen. Prinsip-prinsip tersebut sangatlah beragam diantaranya prinsip uniformitarianism. Prinsip penting dari uniformitarianism adalah proses-proses geologi yang terjadi sekarang juga terjadi di masa lampau. Prinsip ini diajukan oleh Charles Lyell di tahun 1830. Dengan menggunakan prinsip tersebut dalam mempelajari proses-proses geologi yang terjadi sekarang, kita bisa memperkirakan beberapa hal seperti kecepatan sedimentasi, kecepatan kompaksi dari sediment, dan juga bisa memperkirakan bagaimana bentuk geologi yang terjadi dengan proses-proses geologi tertentu.
Faktor-faktor yang mengontrol terbentuknya sedimen adalah iklim, topografi, vegetasi dan juga susunan yang ada dari batuan. Sedangkan faktor yang mengontrol pengangkutan sedimen adalah air, angin, dan juga gaya grafitasi. Sedimen dapat terangkut baik oleh air, angin, dan bahkan salju. Mekanisme pengangkutan sedimen oleh air dan angin sangatlah berbeda. Pertama, karena berat jenis angin relatif lebih kecil dari air maka angin sangat susah mengangkut sedimen yang ukurannya sangat besar. Besar maksimum dari ukuran sedimen yang mampu terangkut oleh angin umumnya sebesar ukuran pasir. Kedua, karena sistem yang ada pada angin bukanlah sistem yang terbatasi (confined) seperti layaknya channel atau sungai maka sedimen cenderung tersebar di daerah yang sangat luas bahkan sampai menuju atmosfer.   Sedimen-sedimen yang ada terangkut sampai di suatu tempat yang disebut cekungan. Di tempat tersebut sedimen sangat besar kemungkinan terendapkan karena daerah tersebut relatif lebih rendah dari daerah sekitarnya dan karena bentuknya yang cekung ditambah akibat gaya grafitasi dari sedimen tersebut maka susah sekali sedimen tersebut akan bergerak melewati cekungan tersebut. Dengan semakin banyaknya sedimen yang diendapkan, maka cekungan akan mengalami penurunan dan membuat cekungan tersebut semakin dalam sehingga semakin banyak sedimen yang terendapkan. Penurunan cekungan sendiri banyak disebabkan oleh penambahan berat dari sedimen yang ada dan kadang dipengaruhi juga struktur yang terjadi di sekitar cekungan seperti adanya patahan.
Pettijohn (1975) mendefinisikan sedimentasi sebgai proses pembentukan sedimen atau batuan sedimen yang diakibatkan oleh pengendapan dari material pembentuk  atau asalnya pada suatu tempat yang disebut dengan lingkungan pengendapan berupa sungai, muara, danau, delta, estuaria, laut dangkal sampai laut dalam. Sedimen yang di jumpai di dasar lautan dapat berasal dari beberapa sumber yang        menurut Reinick (Dalam Kennet, 1992) dibedakan menjadi empat yaitu :
1. Lithougenus sedimen yaitu sedimen yang berasal dari erosi pantai dan material hasil erosi daerah up land. Material ini dapat sampai ke dasar laut melalui proses mekanik, yaitu tertransport oleh arus sungai dan atau arus laut dan akan terendapkan jika energi tertrransforkan telah melemah.
2. Biogeneuos sedimen yaitu sedimen yang bersumber dari sisa-sisa organisme yang hidup seperti cangkang dan rangka biota laut serta bahan-bahan organik yang mengalami dekomposisi.
3. Hidreogenous sedimen yaitu sedimen yang terbentuk karena adanya reaksi kimia di dalam air laut dan membentuk partikel yang tidak larut dalam air laut sehingga akan tenggelam ke dasar laut, sebagai contoh dan sedimen jenis ini adalah magnetit, phosphorit dan glaukonit.
4. Cosmogerous sedimen yaitu sedimen yang bersal dari berbagai sumber dan masuk ke laut melalui jalur media udara/angin. Sedimen jenis ini dapat bersumber dari luar angkasa, aktifitas gunung api atau berbagai partikel darat yang terbawa angin. Material yang bersal dari luar angkasa merupakan sisa-sisa meteorik yang meledak di atmosfir dan jatuh di laut. Sedimen yang bersal dari letusan gunung berapi dapat berukuran halus berupa debu volkanin, atau berupa fragmen-fragmen aglomerat. Sedangkan sedimen yang bersal dari partikel di darat dan terbawa angin banyak terjadi pada daerah kering dimana proses eolian dominan namun demikian dapat juga terjadi pada daerah sub tropis saat musim kering dan angin bertiup kuat. Dalam hal ini umumnya sedimen tidak dalam jumlah yang dominan dibandingkan sumber-sumber yang lain.
Dalam suatu proses sedimentasi, zat-zat yang masuk ke laut berakhir menjadi sedimen. Dalam hal ini zat yang ada terlibat proses biologi dan kimia yang terjadi sepanjang kedalaman laut. Sebelum mencapai dasar laut dan menjadi sedimen, zat tersebut melayang-layang di dalam laut. Setelah mencapai dasar lautpun , sedimen tidak diam tetapi sedimen akan terganggu ketika hewan laut dalam mencari makan. Sebagian sedimen mengalami erosi dan tersusfensi kembali oleh arus bawah sebelum kemudian jatuh kembali dan tertimbun. Terjadi reaksi kimia antara butir-butir mineral dan air laut sepanjang perjalannya ke dasar laut dan reaksi tetap berlangsung penimbunan, yaitu ketika air laut terperangkap di antara butiran mineral. (Agus Supangat dan Umi muawanah)
Klasifikasi Sedimen Laut
Era oseanografi secara sistematis telah dimulai ketika HMS Challenger kembali ke Inggris pada tanggal 24 Mei 1876 membawa sampel, laporan, dan hasil pengukuran selama ekspedisi laut yang memakan waktu tiga tahun sembilan bulan. Anggota ilmuan yang selalu menyakinkan dunia tentang kemajuan ilmiah Challenger adalah John Murray, warga Kanada kelahiran Skotlandia. Sampel-sampel yang dikumpulkan oleh Murray merupakan penyelidikan awal tentang sedimen laut dalam. Sedimen laut dalam dapat di bagi menjadi 2 yaitu Sedimen Terigen Pelagis dan Sedimen Biogenik Pelagis.
1.  Sedimen Biogenik Pelagis
Dengan menggunakan mikroskop terlihat bahwa sedimen biogenik terdiri atas berbagai struktur halus dan kompleks. Kebanyakan sedimen itu berupa sisa-sisa fitoplankton dan zooplankton laut. Karena umur organisme plankton hannya satu atau dua minggu, terjadi suatu bentuk ‘hujan’ sisa-sisa organisme plankton yang perlahan, tetapi  kontinue di dalam kolam air untuk membentuk lapisan sedimen. Pembentukan sedimen ini tergantung pada beberapa faktor lokal seperti kimia air dan kedalaman serta jumlah produksi primer di permukaan air laut. Jadi, keberadan mikrofil dalam sedimen laut dapat digunakan untuk menentukan kedalaman air dan produktifitas permukaan laut pada zaman dulu.
2.    Sedimen Terigen Pelagis
Hampir semua sedimen Terigen di lingkungan pelagis terdiri atas materi-materi yang berukuran sangat kecil. Ada dua cara materi tersebut sampai ke lingkungan pelagis. Pertama dengan bantuan arus turbiditas dan aliran grafitasi. Kedua melalui gerakan es yaitu materi glasial yang dibawa oleh bongkahan es ke laut lepas dan mencair. Bongkahan es besar yang mengapung, bongkahan es kecil dan pasir dapat ditemukan pada sedimen pelagis yang berjarak beberapa ratus kilometer dari daerah gletser atau tempat asalnya.
Selain pengertian sedimen di atas ada pengertian lain tentang sedimen yaitu batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk oleh proses sedimentasi. Sedangkan sedimentasi adalah proses pengendapan sediemen oleh media air, angin, atau es pada suatu cekungan pengendapan pada kondisi P dan T tertentu.
STRUKTUR SEDIMEN
Struktur merupakan suatu kenampakan yang diakibatkan oleh proses pengendapan dan keadaan energi pembentuknya. Pembentukannya dapat pada waktu atau sesaat setelah pengendapan. Struktur berhubungan dengan kenampakan batuan yang lebih besar, paling bagus diamati di lapangan misal pada perlap[isan batuan.(Sugeng Widada : 2002)
Struktur sedimen umumnya dibedakan menjadi 3 golongan yaitu :
1. Struktur anorganik terutama pelapisan, contoh : graded beds, cross beds, mudcraks.
2. Strukturbiogenik terdiri dari struktur jejak dan boring
3. Struktur deformasi terdiri dari convolute bedding, ball and pillow dan diapiric.
Berbagai sifat fisik sedimen ditelaah sesuai dengan tujuan dan kegunaannya. Diantaranya adalah tekstur sedimen yang meliputi ukuran butir (grain size), bentuk butir ( partikel shape), dan hubungan antar butir (fabrik), struktur sedimen, komposisi mineral, serta kandungan biota. Dari berbagai sifat fisik tersebut ukuran butur menjadi sangat penting karena umumnya menjadi dasar dalam penamaan sedimen yang bersangkutan serta membantu analisa proses pengendapan karena ukuran butir berhubungan erat dengan dinamika transfortasi dan deposisi (Krumbein dan Sloss (1983)). Berkaitan dengan sedimentasi mekanik ukuran butir akan mencerminkan resistensi butiran sedimen terhadap proses pelapukan erosi/abrasi serta mencerminkan kemampuan dalam menentukan transfortasi dan deposisi.




Transfor Sedimen
Dengan melihat cara transfor sedimen dapat dilihat melalui :
1.                  Transfor Sedimen pada Pantai
Pettijohn (1975), Selley (1988) dan Richard (1992) menyatakan bahwa cara transfortasi sedimen dalam aliran air dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1.    Sedimen merayap (bed load) yaitu material yang terangkut secara menggeser atau menggelinding di dasar aliran.
2.    Sedimen loncat (saltation load) yaitu material yang meloncat-loncat bertumpu pada dasar aliran.
3.    Sedimen layang (suspended load) yaitu material yang terbawa arus dengan cara melayang-layang dalam air.
2. Transfor Sedimen Sepanjang Pantai
Transfor sedimen sepanjang pantai merupakan gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya (Komar : 1983). Transfor sedimen ini terjadi di daerah antara gelombang pecah dan garis pantai akibat sedimen yang dibawanya (Carter, 1993). Menurut Triatmojo (1999) transfor sedimen sepanjang pantai terdiri dari dua komponen utama yaitu transfor sedimen dalam bentuk mata gergaji di garis pantai dan transforsedimen sepanjang pantai di surf zone. Transfor sedimen pantai banyak menimbulkan fenomena perubahan dasar perairan seperti pendangkalan muara sungai erosi pantai perubahan garis pantai dan sebagainya (Yuwono, 1994). Fenomena ini biasanya merupakan permasalahan terutama pada daerah pelabuhan sehingga prediksinya sangat diperlukan dalam perencanaan ataupun penentuan metode penanggulangan. Menurut Triatmojo (1999) beberapa cara yang biasanya digunakan antara lain adalah :
a.    Melakukan pengukuran debit sedimen pada setiap titik yang ditinjau, sehingga secra berantai akan dapat diketahui transfor sedimen yang terjadi.
b.    Menggunakan peta/ foto udara atau pengukuran yang menunjukan perubahan elevasi dasar perairan dalam suatu periode tertentu. Cara ini akan memberikan hasil yang baik jika di daerah pengukuran terdapat bangunan yang mampu menangkap sedimen seperti training jetty, groin, dan sebagainya.
c.    Rumus empiris yang didasarkan pada kondisi gelombang dan sedimen pada daerah yang di tinjau.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar